MKLI.co.id | Saat ini, pemerintah harus jeli melihat momentum transisi energi di tengah gejolak krisis energi yang terjadi saat ini di beberapa negara maju dunia. Berbagai instrumen untuk memastikan ketahanan energi harusnya juga idealnya bisa ambil bagian.
Salis S Aprilian, praktisi energi yang juga mantan Direktur Utama Pertamina EP dan PT Badak NGL, mengungkapkan untuk bisa memaksimalkan transisi energi ada dua BUMN energi yang bisa diberdayakan yaitu PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero). Keduanya, menurut dia, seharusnya bersinergi.
Baca Juga:
Didominasi Penegak Hukum, MAKI: Pimpinan Baru KPK Tak Mewakili Masyarakat dan Perempuan
Namun, alih-alih bekerja sama mendukung target transisi justru ada aroma persaingan diantara keduanya dengan dibentuknya lini usaha yang saling berkaitan oleh kedua perusahaan negara tersebut.
“Jangan sampai Pertamina buat Pertamina Power Indonesia (PPI) itukan saingan PLN, Lalu PLN membuat divisi LNG yang mau jalankan bisnis LNG sendiri,” kata mantan Direktur Utama Pertamina EP dan Pertamina Hulu Energi tersebut, dalam sebuah diskusi virtual akhir pekan lalu.
Menurut Salis, sinergi antara kedua BUMN tersebut tidaklah mustahil untuk diwujudkan melalui pembentukan Holding BUMN Energi. Menurut dia, holding yang sampai sekarang melibatkan Pertamina yakni saat penggabungan PGN menjadi bagian dari Pertamina dalam tata kelola gas tidaklah cukup.
Baca Juga:
Netanyahu Resmi Jadi Buronan Setelah ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
“Jangan sampai antara PLN dan Pertamina bersaing. Saya sudah lama usulkan holding energi , PGN dengan Pertamina tidak cukup karena PLN seolah-olah mendominasi atau sebagai perusahaan mereka yang bisa jalankan bisnis listrik,” jelas Salis.
Selain itu, pemerintah juga harus jeli dalam memanfaatkan kondisi harga komoditas energi fosil. Menurut Salis, pengembangan EBT di Tanah Air apabila mau dikebut diperlukan intervensi dari pemerintah.
Subsidi ke pengembangan EBT bisa saja dilakukan dengan catatan harga komoditas energi lainnya sedang berada di level positif bagi Indonesia.
“Memang berpihak ke EBT misalnya jadi sekarang dengan adanya harga minyak tinggi harus diambil aja premiumnya harus ada margin yang disubsidikan ke EBT. karena EBT ini perlu subsidi,” ungkap Salis.
Subsidi masih diperlukan karena kunci pengembangan EBT adalah pembiayaan yang masih tinggi sehingga berpengaruh terhadap keekonomian. Salis optimistis dengan penetrasi subsidi maka proyek pembangkit EBT bisa sesuai dengan keekonomian.
“Jadi sidrap-sidrap (PLTB) lain harus dibangun saat harga minyak dan gas tinggi,” kata Salis. [dri]