BPP yang rendah itu mendorong UPDK Minahasa untuk berkomitmen mengoptimalkan PLTP Lahendong hingga 24 jam setiap harinya.
Namun, hal yang tak kalah penting dari pembangkit ini, adalah sifatnya yang ramah lingkungan dengan emisi karbon yang rendah, yaitu hanya sekitar 75 gram per kWh.
Baca Juga:
Mahkamah Konstitusi Terima 206 Permohonan Sengketa Pilkada Kabupaten hingga Provinsi
Menurut penilaian Asosiasi Spanyol untuk Standarisasi dan Sertifikasi (AENOR), Unit 2 PLTP Lahendong dapat mereduksi 84.960 ton karbon dioksida (CO2) sepanjang 2010, kemudian 63.817 ton pada 2011, dan 67.527 ton selama 2012.
Karenanya, PLTP Lahendong menjadi satu-satunya PLTP di wilayah timur Indonesia yang mendapatkan sertifikat reduksi emisi Clean Development Mechanism (CDM).
Menurut Wahib, jika dikonversi ke rupiah, pengurangan emisi karbon itu bisa menghemat Rp 17,2 miliar.
Baca Juga:
ASDP Gandeng Bank Indonesia Perkuat Distribusi Uang Rupiah hingga ke Pelosok Negeri
Sebab, ketika PLTP Lahendong beroperasi maksimal, setidaknya tiga Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan daya terpasang 75 MW di Bitung, Minahasa Selatan, dan Kotamobagu bisa diistirahatkan.
Peran PLTP Lahendong dalam bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) di sistem interkoneksi Sulutgo pun semakin penting sejak Juli 2021.
Berakhirnya kontrak antara PT PLN dengan Kapal Pembangkit Tenaga Listrik (MVPP) Karadeniz Power Ship Zeynep Sultan asal Turki, yang beberapa tahun belakangan beroperasi di Minahasa Selatan, berarti juga bergantinya batu bara dengan panas bumi sebagai energi primer yang lebih bersih.