MKLI.WahanaNews.co | Garuda Indonesia akan mendapat kucuran Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 7,5 triliun.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat separuh dari PMN Garuda untuk perbaikan sejumlah pesawat, sementara separuh lainnya akan digunakan untuk biaya operasional perusahaan.
Baca Juga:
Profil Wamildan Tsani Panjaitan: Sosok Baru di Pucuk Pimpinan Garuda Indonesia
Adapun, hingga saat ini anggaran tersebut belum dicairkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Alokasi anggaran PMN ini pun mendapat sorotan tajam dari Anggota Komisi VI DPR RI Rudi Hartono Bangun.
“Setelah menang PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dana rakyat untuk PMN Rp 7,5 triliun akan diberikan ke direksi Garuda Indonesia. Saya mewakili rakyat mau nanya, uang Rp 7,5 triliun tersebut mau dialokasikan dan dipakai untuk biaya dan kegiatan apa saja?” tanya Rudi dalam Rapat Dengar Pendapat beberapa hari lalu.
Baca Juga:
Wamildan Tsani Panjaitan Dirut Baru Garuda Indonesia
Ia menegaskan, PMN sebesar Rp 7,5 triliun bukanlah jumlah yang sedikit sehingga ia mempertanyakan kejelasan mengenai alokasi dari PMN tersebut.
Terkait rencana direksi Garuda ke depannya, Rudi turut mempertanyakan rencana Garuda yang akan menambah rute penerbangan baru, sementara pesawat yang ada sebagian sudah dikembalikan ke lessor.
“Penambahan pesawat baru mau pakai uang mana? Apakah pakai uang (PMN) Rp 7,5 triliun itu? Dan saya mau nanya, biaya operasional dan pengeluaran Garuda dan penjualan tiket dengan harga mahal dibanding maskapai sejenis misal Lion Air, Batik Air, kemudian direksi hitung-hitung, dan dilaporkan, selama ini (keuangan) merugi. Kalian pakai konsultan seperti apa untuk manajemen Garuda ini? Kok enggak malu dilihat rakyat, direksi yang ambil kebijakan merasa percaya diri dan serasa (paling) benar,” lanjut Rudi.
Ia juga menyarankan agar tiket yang dijual Garuda Indonesia harusnya bisa menyamai maskapai lokal lainnya.
“Tiket yang kalian (Garuda) jual harusya menyamai (maskapai lain), minimal Batik Air. Dan harus bisa untung. Kalau dibilang rugi lagi, artinya direksi baru pakai manajemen lama, alias pakai mark up biaya pengeluaran. Kalau itu masih terjadi, Garuda harus dibubarkan. Manajemen harus diganti semua, karena sudah kotor. Enggak mungkin bisa nyapu lantai bersih jika sapunya kotor. Cuma untuk bayar bengkel uang Rp 7,5 triliun itu enggak salah? Atau jangan-jangan uang Rp 7,5 triliun itu untuk bayar utang direksi lama,” urai Rudi.
Sementara, Direktur Keuangan Garuda Indonesia Prasetyo menjelaskan, rencana penambahan armada akan dilakukan dengan dua opsi.
Pertama dengan Kerja Sama Operasi (KSO) dengan PT Perusahaan Pengelola Aset, atau dengan badan usaha swasta yang ingin menghidupkan pesawat yang sedang tidak digunakan atau under maintenance dengan cara bagi hasil untuk rute selektif.
“Menunggu PMN agak lama sekitar 6 bulan, tapi opsi lain seperti mengundang sinergi dengan PT PPA. Kalau nanti disepakati kita akan diskusi lagi," kata Prasetyo.
Artinya, jelas Prasetyo, jika ada rute pilihan untuk pesawat yang disepakati untuk kerja sama, nanti hasilnya akan digunakan untuk melunasi bunga dan jaminannya. Sedangkan, opsi kedua ditawarkan kerja sama operasi dengan pihak swasta.
"Kita tawarkan ke swasta yang mau membiayai, lumayan returnnya," jelasnya sembari mengatakan, etelah operasi jalan, akan ada klausul untuk terminasi ketika PMN dari Kemenkeu diterima Garuda.
Prasetyo menjelaskan kondisi keuangan Garuda mengalami tekanan yang berat dua tahun terakhir pandemi, di mana traffic penumpang mengalami penurunan tajam.
“Pandemi 2 tahun terakhir Garuda mengalami tekanan berat, dari revenue drop hampir 70 persen. Diikuti tambahan utang yang cukup besar dan membaik pada April lalu saat Hari Raya, di mana pada saat ini perbulan mencapai revenue 120 juta dolar AS. Direct cost masih dipertahankan sekitar 50 persen khususnya tertinggi dari biaya avtur," pungkasnya. [Tio]