MKLI.co.id | Energi primer Indonesia saat ini didominasi oleh bahan bakar fosil, yang berkontribusi sekitar 87,8 persen dari total energi primer, dan pembakarannya berdampak pada perubahan iklim.
Maka dari itu, transisi energi adalah keniscayaan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Di samping itu, Pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan transparansi data dari kegiatan industri ekstraktif, yakni industri minyak dan gas bumi (Migas) serta mineral dan batubara (Minerba).
Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengatakan, seluruh pemangku kepentingan harus membangun komunikasi untuk memaksimalkan pemanfaatan industri ekstraktif.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
"Industri ekstraktif sangat kental dengan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang intensitas karbonnya cukup tinggi. Jadi kita harus bersama-sama untuk mengkomunikasikan. Jadi kita fokus kepada bagaimana kita membangun komunikasi antarpihak untuk bisa menyikapi, bahwa menuju NZE ini kontribusi dari sektor pertambangan masih bisa terus berlanjut, baik itu dari kontribusi secara langsung maupun hasil dari transisi yang ada," ujar Agus pada Dialog Kebijakan Tematik "Pentingnya Transparansi Industri Ekstraktif dalam Pembangunan Berkelanjutan Rendah Karbon", Jumat (03/12/2021).
Transisi energi dinilai akan mengubah wajah industri ekstraktif dan perubahan tersebut akan berdampak kepada seluruh pemangku kepentingan, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha, hingga masyarakat.
"Mari kita bersama-sama menyiapkan diri untuk ke sana. Tentunya perubahan ini akan berdampak pada semua stakeholder. Kita perlu tingkatkan komunikasi kepada Pemerintah Daerah, DPRD, dan masyarakat, bagaimana merencanakan transisi dan penggunaan energi fosil dengan baik. Hal itu tentu membutuhkan transparansi data industri ekstraktif," tandas Agus.