Ia juga menyarankan agar tiket yang dijual Garuda Indonesia harusnya bisa menyamai maskapai lokal lainnya.
“Tiket yang kalian (Garuda) jual harusya menyamai (maskapai lain), minimal Batik Air. Dan harus bisa untung. Kalau dibilang rugi lagi, artinya direksi baru pakai manajemen lama, alias pakai mark up biaya pengeluaran. Kalau itu masih terjadi, Garuda harus dibubarkan. Manajemen harus diganti semua, karena sudah kotor. Enggak mungkin bisa nyapu lantai bersih jika sapunya kotor. Cuma untuk bayar bengkel uang Rp 7,5 triliun itu enggak salah? Atau jangan-jangan uang Rp 7,5 triliun itu untuk bayar utang direksi lama,” urai Rudi.
Baca Juga:
Profil Wamildan Tsani Panjaitan: Sosok Baru di Pucuk Pimpinan Garuda Indonesia
Sementara, Direktur Keuangan Garuda Indonesia Prasetyo menjelaskan, rencana penambahan armada akan dilakukan dengan dua opsi.
Pertama dengan Kerja Sama Operasi (KSO) dengan PT Perusahaan Pengelola Aset, atau dengan badan usaha swasta yang ingin menghidupkan pesawat yang sedang tidak digunakan atau under maintenance dengan cara bagi hasil untuk rute selektif.
“Menunggu PMN agak lama sekitar 6 bulan, tapi opsi lain seperti mengundang sinergi dengan PT PPA. Kalau nanti disepakati kita akan diskusi lagi," kata Prasetyo.
Baca Juga:
Wamildan Tsani Panjaitan Dirut Baru Garuda Indonesia
Artinya, jelas Prasetyo, jika ada rute pilihan untuk pesawat yang disepakati untuk kerja sama, nanti hasilnya akan digunakan untuk melunasi bunga dan jaminannya. Sedangkan, opsi kedua ditawarkan kerja sama operasi dengan pihak swasta.
"Kita tawarkan ke swasta yang mau membiayai, lumayan returnnya," jelasnya sembari mengatakan, etelah operasi jalan, akan ada klausul untuk terminasi ketika PMN dari Kemenkeu diterima Garuda.
Prasetyo menjelaskan kondisi keuangan Garuda mengalami tekanan yang berat dua tahun terakhir pandemi, di mana traffic penumpang mengalami penurunan tajam.